Pragmatis atau Idealis? Rana Suparman: Mutasi Pejabat jadi Ujian Awal Bupati Dian.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Kuningan sekaligus mantan Ketua DPD KNPI, Rana Suparman SSos, angkat bicara soal rencana mutasi pejabat struktural di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang sedang ramai diperbincangkan.
Dalam pernyataan panjangnya saat diwawancarai sejumlah wartawan di gedung Dewan, Selasa (10/6/2025), Rana memberikan pandangan kritis dan mendalam mengenai fenomena kebocoran draft mutasi hingga urgensi menjaga arah pemerintahan, agar tidak disetir oleh kepentingan politik sesaat.
“Bocornya draft (mutasi) ini akurat atau tidak akurat itu kan dilihat nanti pada pelaksanaan mutasi. Kalau draft ini ternyata 60% benar, berarti kebocoran itu benar. Yang 40% itu hanya mencoba untuk mengalihkan perhatian, seolah-olah draft itu tidak ada, kira-kira begitu. Maka drafting yang bocor itu harus benar-benar bertolak belakang dengan realitas waktu itu,” ujar Rana.
Rana juga mengingatkan, bila benar ada fenomena mutasi sebagai bentuk balas dendam, itu justru menunjukkan bahwa Bupati terpilih Dian Rachmat Yanuar ingin membangun antitesa terhadap dua kandidat lawan di Pilkada sebelumnya, beserta partai pengusungnya.
“Padahal itu semua ada di gedung dewan, yang nanti juga akan menentukan APBD, LPJ, LKPJ, perubahan anggaran, dan lain-lain. Itu tidak bisa lepas dari DPRD, yang di dalamnya juga ada perwakilan dari partai-partai pengusung dan pendukung yang pada kenyataannya saat Pilkada kemarin tidak semua mendukung Bupati terpilih,” ujarnya.
Rana menekankan, mutasi semestinya dilandasi kebutuhan mewujudkan visi dan misi, bukan karena dendam politik. Apalagi, kata dia, Bupati sekarang adalah mantan Sekda yang sangat tahu kondisi internal birokrasi.
“Bupati ini harus punya kemampuan untuk mengukur siapa yang mampu membawa visi misinya. Nah, di sisi lain, beliau itu mantan Sekda. Bahkan terlibat langsung dalam menempatkan eselon 2, 3, dan seterusnya selama kekuasaan sebelumnya. Jadi, Bupati terpilih ini sudah bisa mengukur. Kalau orang A ini berpotensi, LKPJ-nya bagus, serapan APBD-nya bagus, dan ternyata diputar hanya karena soal dukung-mendukung, kan kebaca sebetulnya,” papar Rana.
“Jadi tidak ada ruang dan alasan kalau Bupati memandangnya hanya dari sudut politis saja. Kalau memandangnya dari aspek politik semata, ini akan menjadi hiruk pikuk politik yang tidak karuan,” tambahnya.
Rana yang juga mantan Ketua DPRD Kuningan ini kemudian menyinggung tentang siklus Pilkada yang memang tidak bisa dihindari. Namun menurutnya, siklus itu tidak boleh dijadikan alasan untuk menyingkirkan kekuatan politik lain secara sistematis.
“Pak Dian ini jadi Bupati karena siklus Pilkada. Nah, siklus ini jangan digunakan untuk menghabisi kekuatan lawan. Walaupun tidak tampak, itu akan menimbulkan reaksi. Jadi kacamatanya harus bagaimana mewujudkan visi misi dengan memanfaatkan potensi yang ada. Karena dukung mendukung itu dalam Pilkada tidak bisa dihindari,” jelasnya.
Menurut Rana, masyarakat pasti akan bisa membaca alasan di balik penempatan seorang pejabat.
“Orang akan membaca, kenapa si A ditempatkan di sini, kenapa si B di situ. Motivasi apa? Kalau karena prestasi, oke. Kalau karena pragmatis, ya itu juga akan terbaca. Siapa yang piawai mengelola keuangan, siapa yang cuma main-main SPJ, semua terbaca. Kita punya catatan semua. Oh ini pemainnya, ini lurus, ini bengkok, tahu kita,” tegasnya.
Ia juga menambahkan, secara administratif, memang sulit dibuktikan, karena banyak pejabat sudah sangat cerdas memainkan sistem pelaporan.
“Secara administratif memang sulit dibuktikan. Mereka udah jago-jago mainin SPJ. Tapi dari situ kita bisa mengukur, oh ini mau begini, ini mau begitu. Kalau memang Kuningan ini disepakati perlu diluruskan, maka penempatan pejabatnya haruslah yang mampu meluruskan itu,” katanya.
Rana mengatakan dirinya juga ikut mengkroscek langsung ke bawah.
“Saya kan nanya ke dinas, ke bawahannya, bagaimana si pejabat itu? Ada yang kontra, ada yang pro. Itu semua jadi bahan penilaian pribadi, seperti halnya orang menilai saya juga, baik buruknya. Begitu juga saya dan teman-teman di fraksi, kami juga membaca orang,” ujarnya.
Ia menegaskan, setiap sikap dalam mutasi pejabat tentu akan memiliki konsekuensi politik.
“Ketika menempatkan para eselon 2, akhirnya itu asumsi, dan semua sikap ada konsekuensinya. Tidak bisa hanya lihat kompetitor Pilkada, tapi lihat juga administrasi setelahnya. Kandidat itu didukung partai politik. Ketika seseorang jadi Sekda, yang muncul itu faktor idealisme atau balas budi? Atau membentuk pundi-pundi kekuasaan? Itu semua terbaca,” ucapnya.
Namun ia juga mengingatkan agar semua pihak tetap berhusnudzon.
“Belum tentu buruk. Kita berhusnudzon. Kuningan belum mutasi, mungkin lagi dipertimbangkan matang. Mudah-mudahan proses yang cukup lama ini melahirkan kepuasan publik, terutama bagi yang tahu,” katanya.
“Kalau nanti hasilnya justru yang muncul malah orang-orang yang sedang mengembalikan ‘modal’ politik, ya itu akan terbaca juga. Apakah yang dimunculkan ini untuk menertibkan kondisi Kuningan atau justru memperumit, itu bisa terbaca secara politik, walau secara sastra bagus,” lanjutnya.
Rana mengingatkan kembali, jabatan Bupati adalah mandat dari rakyat, bukan otoritas pribadi.
“Bupati itu diberi mandat oleh dua juta masyarakat Kuningan. Ketika jadi Bupati, ketika jadi anggota dewan, bukan berarti dia punya otoritas untuk memutus konstituen seenaknya. Pilihannya cuma dua, pragmatis atau idealis. Kalau menganggap Kuningan tidak baik-baik saja, dengan beban utang Rp260 miliar, jabatan kosong, kemiskinan ekstrem, pengangguran tinggi, masalah perizinan yang belum beres, maka aparatur juga harus idealis,” tegasnya.
“Pragmatis boleh, idealis wajib, politis bisa dipakai asal untuk perbaikan,” pungkas Rana.